Naskah proklamasi berkumandang pada tanggal 17 Agustus 1945.
Seharusnya sejak saat itu, kita mampu menjadi pemimpin sendiri di bumi kita ini. Bisa menentukan nasib bangsa mau kemana, bisa menentukan kehidupan kita seperti apa.
Sekarang perhatikan kanan dan kiri, tetangga, bisa tetangga rumah, kota, propinsi.
Sudah merdekakah kita?
Di lihat dari berbagai sisi, sungguh berat menyatakan bahwa kita sudah merdeka.
Dari sisi ekonomi dan pemanfaatan sumber daya alam sendiri, tentunya tau dong, Freeport, Exxon XL Axiata, sudah membumikan bumi kita menjadi bumi mereka sendiri. Subsidi BBM dicabut, dan harganya disamakan dengan harga jualan (luar negeri), padahal bumi, air dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya menjadi milik rakyat. Entah rakyat yang mana, tapi bukankah seharusnya rakyat banyak? Bukan cuma orang-prang yang duduk di pemerintahan? Di mana merdeka?
Dari segi sosial, di tempatku, kota Medan, aku sering kesal melihat bangsa sendiri. Sama-sama beli sama mata sipit, bayar pakai uang yang sama. Sering kali aku bayar lebih mahal karena belanjaanku lebih banyak. Tapi pelayanan aku dibuat nomor dua. Kesal sekesal-kesalnya. Dasar mental babu, bangsa lain dipuja-puja, dianggap majikan, tapi bangsa sendiri dianggap rendah, jadi gak perlu dihargai. Pernah kejadian, istriku beli kue sampai berapa buah di toko milik pribumi, dibungkusnya pakai plastik, terus pelayannya melayani sambil ngobrol dengan pelayan lain. Begitu yang beli bukan pribumi, cuma beli dua buah, dimasukin kotak dan melayani dengan senyum sana sini ke yang beli. Kampret. Sekali lagi, orang Indonesia itu tuh, sering dinomorduakan, bahkan oleh orang kita sendiri. Merdekakah kita?
Dari sisi politik, apakah kita sudah bebas bersuara, menyatakan aspirasi? Media massa hanya dikuasai oleh beberapa orang saja. Bahkan TVRI pun terkadang beritanya kita bingung benar atau tidaknya. Plintir sana-sini jadinya kita gak tau mana yang benar mana yang salah. Kita memilih orang baik, tapi yang menjadi orang di DPR kok itu-itu aja? Kita merasa memilih orang baik, eh ternyata cuma manis di bibir saja. Yang sedih baru-baru ini ada tren keluar #bukanurusansaya. Bisa-bisanya pemimpin ngomong demikian. Merdeka?
Belum lagi dari sisi budaya, berapa besar perbandingan orang Indonesia yang lebih mengenal gudeg daripada pizza? Berapa banyak pemuda-pemudi yang menganggap pacaran itu tabu sebagaimana adat ketimuran? Merdekakah kita? atau apa kita masih terjajah?
Sumber: Rautan.com
Ada satu hal lagi yang menunjukkan kalau kita belum merdeka sebenarnya. Kebanyakan dari kita, tidak tau kita membela siapa dalam hidup ini, di masa kemerdekaan ini.
Kalau dulu ada semboyan "merdeka atau mati".
Kalau sekarang?
Apa yang kita banggakan, dan apa yang kita bela?
Di sisi ekonomi, pencabutan subsidi BBM diyakini lebih banyak untuk kepentingan asing. Kondisi mobil yang katanya MURAH, padahal mahal juga, juga untuk keperluan asing. Low Cost Green Car. Low apaan kalau di atas 100 juta, Green apaan kalau masih pakai bensin. Padahal kita pernah menciptakan mobil listrik, eh bukannya didukung, malah dijelek-jelekin. Freeport dibiarin begitu aja, cuma nyumbang 1%, terus menterinya banyak cerita ini itu, padahal sampai dia gak jadi menteri tetap aja diterima oleh negara ini 1%. Terus antara beli produk asing dengan produk dalam negeri, kita pilih mana? Jadi bela siapa kita sebenarnya?
Di sisi sosial, kita mendewa-dewakan asing. Bagi kita asing itu seolah segalanya. Banyak yang bangga punya suami orang asing. Di tv artisnya mulai banyak orang asing. Kalau sebelumnya mendewa-dewakan korea, sekarang mulai mendewakan India. Orang kita sendiri gak dianggap. Jadi ingat kasus saya, bisa-bisanya pelayanannya beda antara pribumi dengan asing. Bela siapa kita?
Dari segi politik, sebentar lagi, beberapa hari lagi, 2015, kita akan memasuki masa Masyarakat Ekonomi Asia. Padahal kalau menurut saya, industri kita belum seberapa kuat. Kebijakan politik ini syarat dengan kepentingan. Bagaimana tidak, kita adalah negara konsumtif, yang lahannya banyak dijadikan perumahan, mall dan bukan pabrik. Impor kita lebih banyak, jauh lebih banyak, daripada ekspor. Lantas kenapa kita dengan bangganya menerima MEA? Mau jadi apa kita? Siapa yang kita bela?
Kita perlu memikirkan kembali, arti merdeka dan kemerdekaan itu sendiri. Salah satu bentuk merdeka, adalah mandiri. Untuk menjadi mandiri maka kita harus mampu melakukan produksi. Kalau kita belum bisa produksi, kita menyokong saudara kita yang telah bisa berproduksi. Moto cintailah produk dalam negeri bukan seharusnya hanya menjadi bahan olok-olokan, tapi diaplikasikan. Belilah barang ciptaan teman sendiri. Makanlah di warung bukan di franchise asing. Jadilah pembela negeri ini.
Bela Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan membeli produk dalam negeri.
Bukan hanya karena lebih murah, tapi karena yang memproduksi adalah pribumi.
Bukan hanya karena lebih baik, tapi demi membangun Indonesia yang lebih baik.
Sumber: BeliIndonesia.com
(semoga negeri ini lebih baik lagi...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar